Seorang anak TK yang lahir dan besar di
ibu kota melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik kepada orang tuanya
saat dilangsungkannya upacara besar di kampungnya di Bali. Pertanyaan
yang sederhana, tetapi sudah barang tentu tidak bisa dijawab hanya
dengan kata “nak mulo keto” (memang sudah demikian).
Saat
itu berlangsung upacara Dewa Yadnya tingkat utama di rumahnya yang
melibatkan berbagai macam korban binatang. Ada seekor kerbau, beberapa
ekor babi dan puluhan itik dan ayam disemblih. Sementara sang pinandita
memimpin upacara dan menyemblih satu-persatu hewan-hewan korban, sang
anak kecil bertanya pada ayahnya; “Papa, Tuhan kita kok doyan makan ya?
Apa Tuhan memakan persembahan hewan sebanyak itu? Apa Tuhan ga kasihan
ya sama binatang-binatang itu sampai harus melahap dengan rakus kayak
gitu?”. Sang papa hanya bisa tertegun dan berusaha menjelaskan kepada
anaknya yang masih kanak-kanak dengan mengatakan; “Dek, kita
mempersembahkan binatang-binatang itu agar mereka disupat, dan
kelak roh-roh mereka diangkat ke alam sorga sehingga mereka akan
menikmati kebahagiaan di sana”. Sang anak kembali bertanya; “Tapi Pa,
kalau memang demikian kenapa bukan adek aja yang dipersembahkan agar
adek bisa masuk sorga? Atau kenapa bukan papa dan jero mangkunya aja
sekalian yang dipersembahkan agar semua masuk sorga?”. Ujung dari
pertanyaan-pertanyaan sederhana ini pada akhirnya hanyalah “nak mulo
keto” yang tentunya tidak memuaskan keingintahuan sang anak cerdas ini.
Jika
anda hidup di komunitas minoritas Hindu, mungkin pertanyaan yang
serupa dengan apa yang disampaikan anak kecil ini juga sering
dilontarkan kepada anda. Pada umumnya orang non Hindu tidak pernah
disibukkan dengan berbagai macam upacara dan persembahan makanan,
mereka hanya cukup berdoa, bernyanyi atau hanya mengagung-agungkan nama
Tuhan, lalu kenapa orang Hindu bergitu sibuk dalam upacara yang
menelan dana milyaran rupiah?
Dalam Bhagavad Gita 9.26 Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna bersabda; “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyaḿ yo me bhaktyā prayacchati tad ahaḿ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ,
Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan
cinta bhakti, Aku akan menerimanya”. Dari sloka ini kita dapat mengerti
bahwa Tuhan tidak pernah meminta persembahan mewah dan mahal sehingga
memberatkan umatnya. Meskipun Beliau mengatakan persembahan “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyam, daun, bunga, buah atau air” namun yang terpenting dari itu semuanya adalah “bhakty-upahṛtam, persembahan bhakti”.
Membuat persembahan mewah dan mahal tanpa ada rasa bhakti di dalamnya
tidak akan ada gunanya. Tetapi hanya persembahan yang dilandasi dengan
rasa bhakti yang tulus meskipun tanpa menggunakan sarana apa-apalah
yang akan diterima oleh Tuhan.
Lalu
buat apa Tuhan, Sri Krishna meminta persembahan daun, bunga, buah atau
air? Apakah Beliau lapar dan perlu makan? Untuk menjawab pertanyaan
ini, mari kita coba mengambil suatu analogi dalam kehidupan kita
sehari-hari. Andaikan anda adalah orang tua yang memiliki dua orang
anak. Setiap hari anda memberikan uang jajan yang sama besarnya kepada
kedua orang anak anda. Satu anak menggunakan semua uang tersebut untuk
membeli jajan dan menghabiskannya seorang diri. Sementara itu, anak
anda yang satunya menggunakan uang tersebut untuk berbelanja, tetapi
selalu menyisihkan sebagian untuk anda dalam bentuk sebuah permen
seraya dia berkata; “Pa, ma, ini saya bawakan permen buat kalian. Saya
harap papa dan mama menerimanya”. Melihat perbedaan tingkah laku kedua
anak anda ini, apa yang terbesit dalam benak anda? Yang mana yang lebih
anda hargai? Apakah anak yang menggunakan uang jajannya dan
menghabiskannya seorang diri ataukah anak yang dengan tulus menyisakan
dan membawakan anda sesuatu walaupun hanya berupa sebuah permen yang
sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaan yang anda
miliki? Jika anda manusia normal, saya yakin anda lebih menghargai
anak yang menyisahkan uang jajannya untuk sebuah permen itu bukan?
Begitu pula dengan Tuhan. Tuhan adalah pemilik dan penguasa alam material dan alam rohani, bahkan kita sebagai jiva yang kekal adalah bagian dari kekuasaan Beliau. Dalam Śvetāśvatara Upaniṣad 6.7 disebutkan; “vidāma devaḿ bhuvaneśam īḍyam, tiada yang lebih besar dari pada Beliau, dan Beliau adalah sebab utama segala sebab”. Bahkan dalam Brahma Samhita sloka 13
dikatakan; “Benih-benih transendental (anti materi yang menjadi satu
alam semesta) Sankarsana muncul dari pori-pori kulit Maha-Visnu dalam
bentuk telur emas yang tak terhitung jumlahnya sambil Maha-Visnu
berbaring di lautan penyebab, semua telur tersebut tetap tertutupi oleh
unsur material besar”. Dari penjelasan sloka Veda yang lain kita
mengetahui bahwa satu alam semesta terdiri dari milyaran galaksi. Dengan
demikian, dapatkan anda membayangkan betapa besarnya Tuhan? Apakah
Tuhan perlu memakan secuil makanan yang kita persembahkan? Bukankah jika
Tuhan mau, dalam satu kali lahap, semua alam material yang terdiri
dari jutaan alam semesta ini akan habis dalam sekejap?
Jadi,
sarana material yang kita gunakan untuk memuja Tuhan hanyalah
merupakan perwujudan ungkapan cinta kasih kita kepada Beliau. Bukan
karena Tuhan sedang haus dan lapar, serta akan marah jika kita tidak
membawakan Beliau sesuatu. Orang Hindu juga tidak punya kewajiban untuk
membuat upacara besar-besaran yang menghabiskan sekian banyak dana
dengan dalih memuaskan Tuhan. Sungguh tindakan bodoh jika ada orang
Hindu yang harus ribut-ribut bertengkar dengan sanak familinya, menjual
harta warisan leluhur, menelantarkan pendidikan putra-putrinya dan
dengan bangganya memamerkan pada masyarakat kalau dia sanggup
mengadakan upacara ritual tingkat utama tanpa didasari rasa cinta
bhakti yang tulus kepada Tuhan. Padahal Sri Krishna dengan tegas
mengatakan; “eka-bhaktir viśiṣyate priyo hi jñānino ‘tyartham ahaḿ sa ca mama priyaḥ,
orang yang memiliki pengetahuan sepenuhnya dan selalu tekun dalam
bhakti yang murni adalah yang paling baik. Sebab dia sangat
mencintai-Ku dan Aku sangat mencintainya” (Bg.7.17).
Jangan anda pikir Tuhan bisa disuap, jangan anda pikir dengan upacara
megah tanpa bhakti akan meluluhkan hati Tuhan dan jangan berpikir dengan
upacara ngaben yang megah akan mengantarkan anda dan keluarga anda ke
alam moksa. Hanya cinta kasih yang murnilah yang bisa menyelamatkan
anda.
Jika anda merasa pernah
menjual warisan leluhur, atau bahkan “turus lumbung” anda hanya untuk
membuat upacara megah, atau anda hanya sibuk berkutat dalam berbagai
macam ritual tanpa anda tahu esensinya. Tanpa pernah menyeimbangkan
faktor pilosofi, mendidik generasi muda anda dalam ilmu pengetahuan
rohani, tanpa pernah perduli dengan lembaga pendidikan yang akan
menanamkan pondasi Veda kepada kaum muda Hindu, maka mulailah bercermin
pada sloka-sloka Veda. Dalam Bhagavad Gita 7.18 Sri
Krishna menyingung betapa pentingnya pondasi pengetahuan dalam
menumbuhkan rasa cinta bhakti dalam diri seseorang untuk menggapai
dunia spiritual (jñānī tv ātmaiva me matam āsthitaḥ sa hi yuktātmā mām evānuttamāḿ gatim).
Upacara
adalah bagian yang sangat penting dalam pengungkapan rasa syukur dan
cinta bhakti kita kepada Tuhan, tetapi upacara yang tidak dilandasi
oleh pengetahuan, adalah upacara dalam tingkat kebodohan. Kenyataan ini
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 17.5-6; “aśāstra-vihitaḿ
ghoraḿ tapyante ye tapo janāḥ dambhāhańkāra-saḿyuktāḥ
kāma-rāga-balānvitāḥ karṣayantaḥ śarīra-sthaḿ bhūta-grāmam acetasaḥ māḿ
caivāntaḥ śarīra-sthaḿ tān viddhy āsura-niścayān, Orang yang
menjalani pertapaan dan kesederhanaan [ritual korban suci] yang keras
yang tidak dianjurkan dalam Kitab Suci, dan melakukan kegiatan itu
karena rasa bangga dan keakuan palsu didorong oleh nafsu dan ikatan,
yang bersifat bodoh dan menyiksa unsur-unsur material di dalam badan
dan Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam badan, dikenal sebagai
orang jahat”.
Jadi untuk menghindari
ritual keagamaan yang dalam sifat kebodohan, sudah saatnya umat Hindu
bangkit dari praktek-praktek ritual yang tidak dilandasi atas
pengetahuan dan kitab suci. Sudah saatnya umat Hindu harus membentengi
diri dengan sistem pendidikan yang baik. Biarkan tradisi “nak mulo
keto” kita kubur dalam-dalam dan menggantinya dengan pengetahuan
spiritual. Pada dasarnya kita sudah memiliki sistem pendidikan rohani
sang sangat komprehensip dengan sistem upanisad dan parampara-nya yang
dinaungi oleh sistem guru kula. Tahukah anda kalau ternyata sistem
pesantren yang diterapkan oleh umat Islam adalah adopsi dari sistem
guru kula Hindu? Kenapa kita harus mencari sistem pendidikan baru
dengan meniru pesantren dan menamakanya pesantian jika kita sudah
memiliki sistem guru kula?
No comments:
Post a Comment