Oleh : I Gede Manik, S.Ag (Badung)
Umat
Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang bahkan sampai nanti dalam
menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa memakai symbol-simbol.
Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu
sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol,
bangsa pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda
namun mempunyai fungsi yang sama.
Dalam upakara terdiri dari
banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh memiliki
makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam
(makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi
Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti
Tri Hita Karana.
Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi
dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain
Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara
keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan
pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba
desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah
penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor
sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah
penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan
dll.
Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata
Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai,
“Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny”
menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung
maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.
Umat
Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor.
Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan
yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya
dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah
kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor
ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan
lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah
sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau
yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala
bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya
kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi
dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada
ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan
bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang
dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya
melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan
sabit.
Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat
Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida
Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas
kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi
melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat
yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan
dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan
benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.
Penjor
Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi
tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan
perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor
merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan
kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua
ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor
merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan.
Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara,
andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi,
jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan
pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.
Oleh
karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara
memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja,
namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama,
sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor
tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan
peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai
etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai
berikut: - Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara. - Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma. - Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra. - Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa. - Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara. - Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu. - Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu. - Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa. - Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut : “Ndah
Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun,
Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya
Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran
Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh,
Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang
Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu
Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra
Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara
Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan,
Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03) WHD No. 478 Nopember 2006. |
No comments:
Post a Comment